BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang Masalah
Sejarah islam dan berbagai cabangnya, termasuk sejarah tasawuf dan pengikutnya sangat penting untuk diperkenalkan dan dibahas, diantaranya adalah mengenai tokoh-tokoh dari ajaran tasawuf di Indonesia ini. Karena, tasawuf terus mengalami perkembangan dan memberi pengaruh penting di Indonesia. Sejak permulaan sejarah Islam di wilayah tersebut hingga hari ini, selama beberapa abad permulaan sejarah, terutama pada abad ke-10 H/ 16 M dan ke-11/ 17 M, tasawuf memainkan peranan terbesar dan paling menentukan dalam membentuk pandangan religius, spiritual, dan intelektual di kepulauan Indonesia dan kepulauan disekitarnya.
Disini kami akan menjabarkan tentang tokoh-tokoh ulama tasawuf di Indonesia. Untuk itu, kami memberi judul makalah ini dengan “TOKOH-TOKOH TASAWUF di INDONESIA”.
- Rumusan Masalah
1) Bagaimanakah riwayat hidup dan pemikiran tasawuf Syeikh Hamzah Fansuri?
2) Bagaimanakah riwayat hidup dan pemikiran tasawuf Syeikh Nuruddin ar- Raniri?
3) Bagaimanakah riwayat hidup dan pemikiran tasawuf Syeikh Abdul Rauf as-Sinkili?
4) Bagaimanakah riwayat hidup dan pemikiran tasawuf Syeikh Yusuf al- Makassari?
5) Bagaimanakah riwayat hidup dan pemikiran tasawuf Syeikh Nawawi al- Bantani?
6) Bagaimanakah riwayat hidup dan pemikiran tasawuf Syeikh H. Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA)?
BAB II
PEMBAHASAN
1) Riwayat Hidup dan Pemikiran Tasawuf Syeikh Hamzah Fansuri
Hamzah Fansuri dilahirkan di kota Barus atau Fansur, sekarang merupakan kota kecil Pantai Barat Sumatra, antara Sibolga (Sumatra Utara) dan Singkel (Aceh Selatan). Tidak diketahui dengan pasti tentang tahun kelahiran dan kematian beliau, tetapi masa hidupnya diperkirakan sebelum tahun 1630-an, karena Syamsuddin Pasai (Sumatrani) yang menjadi pengikut serta komentator buku dalam tulisannya Syarh Rub, beliau meninggal pada tahun 1630 M. Hamzah Fansuri belajar di berbagai tempat, seperti; Aceh, Jawa, Tanah Melayu, India, Persia, Arab, dsb. Diantara guru yang paling berpengaruh adalah Ibrahim Bin Hasan al- Kurani (Madinah).
Keahlian beliau terletak pada bidang ilmu fiqh, tasawuf, mantiq, sejarah, filsafat, dan sastra. Di bidang tasawuf misalnya, beliau merupakan salah seorang ulama yang mengajarkan Wahdatul Wujud. Jalan pikiran tasawufnya banyak dipengaruhi oleh Ibnu Arabi, Abdul Karim Jili, Husain Mansur al-Hallaj, al-Bistami, Fariduddin Attar Jalaluddin Rumi, Syah Nikmatullah, dan lain-lain. Kecenderungannya terhadap mereka bisa dilihat ketika ia mengajarkan bahwa Tuhan lebih dekat daripada urat leher manusia sendiri, dan bahwa Tuhan tidak bertempat, sekalipun sering dikatakan bahwa Ia ada di mana-mana. Seperti ayat berikut:
وَنَحْنُ أَقْرَبُ اِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيْدِ
…Dan Kami lebih dekat kepadanya (manusia) daripada urat lehernya. Beliau memaknai ayat itu, adalah ”Kami terlebih dekat-yakni bercampur dan mesra, serta bersatu wujud Allah dengan insan-daripada urat lehernya”. Akan tetpi, beliau menolak ajaran pranayama dalam agama Hindu yang membayangkan Tuhan berada di bagian tertentu seperti ubun-ubun yang dipandang sebagai jiwa dan dijadikan tiik konsentrasi dalam uaha mencapai persatuan. Meski demikian, Hamzah juga mengembangkan ajaran-ajaran tersebut berdasarkan pengalaman rohaniahnya sendiri.
Dalam menyebarkan pemikirannya, beliau mengalami masa yang berbeda saat kepemimpinan Sultan Iskandar Muda dengan Sultan Iskandar Tsani. Di masa Sultan Iskandar Muda berkuasa, ajaran-ajaran Wahdatul Wujudnya mendapat respon positif dari pihak istana, sehingga beliau dengan leluasa mengembangkan ajaran tersebut. Berbeda dengan masa Iskandar Tsani, dikarenakan oleh nasehat ulama istana, Nuruddin al-Raniri, beliau dituding sebagai penyeru zindiq atau pantheisme. Akibatnya, pergerakan dan penyebaran ajarannya dibatasi bahkan dimusuhi. Karya-karyanya banyak dilarang dan dibakar di hadapan Masjid Raya Banda Aceh.
Beliau juga menguasai bahasa Arab, Persia, Urdu, dan merupakan penulis yang produktif, yang menghasilkan bukan hanya risalah- risalah keagamaan, tapi juga karya- karya prosa yang sarat dengan gagasan- gagasan mistis. Beberapa buku-buku syairnya, antara lain; Syair Burung Pingai, Syair Dagang, Syair Pungguk, Syair Sidang Faqir, Syair Ikan Tongkol, dan Syair Perahu. Adapun karangan-karangannya dalam bentuk kitab ilmiah, antara lain; Asrarul ’Arifin, Fii Bayaani ’Ilmis Suluuki wat Tauhid, Syarbul ’Asyiqin, Al- Muhtadi, Ruba’i Hamzah al Fansur.
2) Riwayat Hidup dan Pemikiran Tasawuf Syeikh Nuruddin ar-Raniri
Nama lengkapnya adalah Nur al-Din Muhammad Ibn Ali Hasanji ibn Muhammad al-Raniri. Silsilah keturunan al-Raniri ini berasal dari India, keturunan Aceh. Dipanggil al-Raniri karena dilahirkan di daerah Ranir (Rander) yang terletak dekat Gujarat, India pada tahun yang tidak diketahui. Ia meninggal pada 22 Dzulhijjah 1096 H/21 September 1658 M di India. Pendidikannya dimulai dengan belajar di tempat kelahirannya, kemudian dilanjutkan ke Tarim (Arab Selatan). Dari kota ini kemudian pergi ke Makkah pada tahun 1030 H/1581 M untuk melaksanakan ibadah haji dan ziarah ke Madinah.
Adapun karangan yang termasuk bidang tasawuf, antara lain; Lathaif al-Asrar, Nubdzah fi ma’rifat ar-Ruh wa ar-Rahman, Hilal azh zhil, Ma ’al-Hayat li ahl al-mamat, Fath al-Mubin’ala al-Mulhidin, Syifa al-Qulub, Hidayat al-Iman bi fadl al-Manan, Aqaid Ash-Shufiyah al-Muwahhidin, Rafiq al-Muhammadiyah fi thariq Ash Shufiyya, Jawahir al-’Ulum fi Kasyf al-Ma’lum.
Pemikiran-pemikiran tasawuf Nuruddin al-Raniri banyak diterima dan dipelajari oleh Sultan Iskandar Tsani sehingga kebijakan Nuruddin mengeluarkan fatwa ”kufur” kepada pengikut Wujudiyah ternyata didukung oleh Sultan. Sultan Iskandar Tsani berulangkali menyuruh para pendukung Wujudiyah untuk mengubah pendapat mereka tapi sia-sia. Menurut Ahmad Daudi, ketika al-Raniri menjadi Mufti, ia sempat mengeluarkan fatwa tentang kesesatan ajaran Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al-Sumatrani, dan membolehkan membunuh pengikut ajaran tersebut, yang disebut kaum Wujudiyah. Buku yang sangat jelas mematahkan faham Wujudiyah adalah Ma ’al-Hayat li ahl al-mamat.
Kitab Ma ’al-Hayat li ahl al-mamat diluncurkan untuk mengingatkan agar tidak sempat terpengaruh ajaran Wujudiyah yang sesat, ajaran, ajaran Hamzah Fansuri, Syamsuddin al-Sumatrani, dan para pengikutnya karena ajaran tersebut dianggap kafir, Nuruddin sempat mengatakan barang siapa syak pada pengkafiran Yahudi dan Nasrani dan Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al-Sumatrani dan yang mengikuti keduanya, maka sesungguhnya ia kafir. Sesat dan kafirnya pengikut ajaran tersebut menurut Nuruddin karena mereka memandang bahwa Allah itu adalah alam dan alam adalah Allah. Jika kedaannya seperti itu, tentu saja antara dzat dan sifat Tuhan dengan dzat dan sifat makhluk telah terjadi intiqal atau hulul atau ittihad. Ketiga hal itu tidak ada perbedaan antara Tuhan dengan makhluk-Nya.
Setelah menetap di Aceh, beliau dikenal sebagai seorang ulama dan penulis produktif. Beliau juga merupakan salah satu ulama yang berjasa menyebarluaskan bahasa Melayu di kawasan Asia Tenggara. Karya-karyanya banyak ditulis dalam bahasa Melayu, sehingga menjadikannya sebagai bahasa Islam kedua setelah bahasa Arab.
Ternyata kejayaan Nuruddin di Aceh tidaklah lama, setelah Sultan Iskandar Tsani wafat (1644) dan digantikan oleh permaisuri Sultanah Safiatuddin, anak Iskandar Muda (1641-1675), maka bersamaan dengan itu datanglah dari Mekkah seorang ulama asal Minangkabau bernama Saiful Rijjal ke Aceh. Ia merupakan seorang penganut faham Wujudiyah Hamzah Fansuri. Perseteruan Nuruddin dengan Wujudiyah bangkit kembali. Kali ini yang menang ulama Wujudiyah Saiful Rijal. Akibatnya, Nuruddin terpaksa meninggalkan Aceh secara tergesa-gesa sehingga tidak sempat menyelesaikan karangannnya yang berjudul Jawahir al-Ulum fi Kasyf al-Ma’lum. Ia meninggal di kota kelahirannya, Ranir, dalam tahun 1658 M.
3) Riwayat Hidup dan Pemikiran Tasawuf Syeikh Abdul Rauf as-Sinkli
Abdul Rauf as- Sinkli adalah tokoh utama dan mufti besar kerajaan Aceh pada abad ke- 17 (1606- 1637 M), bernama lengkap Abdul Rouf bin Ali al-Jawi al-Fansuri al-Sinkli. Tahun kelahirannya tidak diketahui dengan pasti. Namun, ada yang menyebutkan pada tahun 1024 H/ 1615 M. Beliau dilahirkan di Singkel, sebelah utara Fansur di pantai barat Aceh.
Al-Sinkli berangkat belajar ke Timur Tengah sekitar tahun 1051 H/ 1640 M. Di sana, beliau mempelajari berbagai disiplin ilmu Islam, mulai bahasa Arab, membaca al-Qur’an, hadits, syariat, hingga tasawuf. Beliau mempelajarinya di daerah Yaman. Dalam menuntut ilmu, waktu yang paling lama adalah ketika belajar dengan Syekh Ibrahim bin Abdullah al-Jam’an di baitul Faqih dan Mauza. Al-Sinkli memperoleh penghargaan tertinggi dari para gurunya, terutama Ahmad Qusyaisyi dan Ibrahim al-Kurani. Setelah mendapatkan ilmu yang cukup, beliau pun kembali ke kampung halamannya di Aceh.
Sebelum al-Sinkli membawa ajaran tasawufnya, di Aceh telah berkembang ajaran tasawuf falsafi, yaitu tasawuf Wujudiyah, yang kemudian dikenal dengan nama Wahdah al-Wujud. Telah disebutkan di atas, ajaran tasawuf Wujudiyah dianggap al-Raniri sebagai ajaran yang sesat dan penganutnya dianggap murtad. Dari justifikasi ini terjadilah proses penghukuman bagi mereka. Tindakan al-Raniri ini dinilai oleh al-Sinkli sebagai perbuatan yang terlalu emosional. Al-Sinkli menanggapi persoalan aliran Wujudiyah dengan penuh kebijaksanaan. Kendati demikian, ajaran tasawufnya mirip dengan Nuruddin al-Raniri, yaitu menganut paham satu-satunya wujud hakiki, yakni Allah.
Al-Sinkli juga mempunyai pemikiran tentang dzikir. Dalam pandangannya, dzikir merupakan suatu usaha untuk melepaskan diri dari sifat lalai dan lupa. Dengan dzikir hati selalu mengingat Allah. Tujuan dzikir adalah mencapai fana (tidak ada wujud selain wujud Allah). Berarti wujud hati yang berdzikir dekat dengan wujud-Nya.
Karya-karya al-Sinkli antara lain, Mi’rat at-Thullab, Hidayat al-Balifhah, Umdat al-Muhtajin, Syams al-Ma’rifah, Kifayat al-Muhtajin, Daqa’iq al-Huruf, Turjumah al-Mustafidah.
Karya-karyanya itu pun digunakan oleh kaum muslimin di wilayah Asia Tenggara. Karya yang ditulisnya adakalanya dengan bahasa Melayu maupun Arab. Sebagian besar berkaitan dengan masalah fiqih, ibadah, dan tasawuf. Semua tulisannya yang berbahasa Melayu diorientasikan pada kondisi Melayu dan disusun pada tingkat yang sesuai dengan murid-muridnya. Dengan demkian, mereka dapat memahami Islam secara lebih baik.
4) Riwayat Hidup dan Pemikiran Tasawuf Syeikh Yusuf Al- Makassari
Nama lengkapnya adalah Yusuf Taj al-Khalwati al-Makassary. Dilahirkan pada tanggal 8 Syawwal 1036 H/ 3 Juli 1629 M. Pada tahun 1644, dia belajar ke Makkah. Sebelum berangkat ke Makkah, dia singgah di Banten kemudian ke Aceh untuk belajar dengan Syeikh Nuruddin ar-Raniri tentang tarekat Qadiriyah. Dia juga dikenalkan oleh Syeikh Nuruddin ar-Raniri kepada gurunya di Bijapur, India yang bernama Sayid Abu Hafsh Umar bin Abdullah Ba Syaiban. Secara ringkas tarekat-tarekat yang telah dipelajarinya dicantumkan sebagai berikut:
a) Tarekat Qadiriyah diterima dari Syeikh Nuruddin ar-Raniri di Aceh,
b) Tarekat Naqsabandiyah diterima dari Syeikh Abi Abdillah Abdul Baqi Billah,
c) Tarekat al-Saadah al-Baalawiyah diterimanya dari Sayyid Ali di Zubaed/ Yaman,
d) Tarekat Syathariyah diterimanya dari Ibrahim al-Kurani di Madinah,
e) Tarekat Khalwatiyah diterimanya dari Abdul Barakat Ayyub bin Ahmad bin Ayyub al-Khalwati al-Quraisyi di Damsyiq. Syeikh ini adalah imam di masjid Muhyiddin Ibnu Arabi.
Dalam karyanya, Zubdat al-Asrâr, pada awal naskah tercantum nama al-Haj Yusuf at-Taj Abi al-Mahasin (nama gelar beliau) sebagai penulisnya. Naskah ini ditulis dalam bahasa Arab, yang berisi ajaran tentang Wujudiyah. Dalam tulisannya ini, Syeikh Yusuf al-Makassari kelihatan cukup memahami paham tersebut.
Syeikh Yusuf al-Makassari berbicara pula tentang Insan Kamil dan proses pensucian jiwa. Ia mengatakan bahwa seorang hamba akan tetap hamba walaupun telah naik derajatnya, dan Tuhan akan tetap Tuhan walaupun turun pada diri hamba. Dalam proses pensucian jiwa, ia menempuh cara yang moderat. Menurutnya, kehidupan dunia bukanlah untuk ditinggalkan. Akan tetapi sebaliknya, hidup diarahkan untuk menuju Tuhan. Gejolak hawa nafsu harus dikendalikan melalui tertib hidup dan disiplin diri atas dasar orientasi ketuhanan yang senantiasa melindungi manusia.
Dalam Zubdat al-Asrar juga, Syaikh Yusuf al-Makassari mengutip pernyataan al-Burhanpuri yakni pengarang kitab Tuhfat al-Mursalah ila Ruh al-Nabi, dan juga beliau adalah seorang ulama kelahiran India yang dianggap sebagai pencetus pertama kali pemikiran Martabat Tujuh. Konsep ini merupakan perwujudan-perwujudan (tajalli) Tuhan melalui tujuh martabat: ahadiyah, wahdah, wahidiyah, ‘alam arwah, ‘alam mitsal, ‘alam ajsam, dan ‘alam insan. Adakalanya yang mengidentikkan ajaran Martabat Tujuh dengan ajaran Wahdatul Wujud atau Manunggaling Kawula- Gusti.
5)Riwayat Hidup dan Pemikiran Tasawuf Syeikh Nawawi al-Bantani
Syekh Muhammad bin Umar Nawawi al-Bantani al-Jawi, adalah ulama Indonesia bertaraf internasional. Lahir di Kampung Pesisir, Ds. Tanara, Kec. Tanara, Serang- Banten 1815 M. Sejak umur 15 tahun ia pergi ke Makkah dan tinggal disana, tepatnya daerah Syi’ab Ali, hingga wafatnya pada tahun 1897 M, dan dimakamkan di Ma’la. Ketenaran beliau di Makkah membuatnya dijuluki Sayyidul Ulama Hijaz (Pemimpin Ulama Hijaz). Hijaz adalah daerah yang sejak 1925 M diganti nama menjadi Saudi Arabia.
Ada beberapa maksud dan alasan yang melatarbelakangi kepergian Syekh nawawi dari tnah kelahirannya di Tanara ke tanah suci di Makkah: Pertama, Menunaikan ibadah haji. Dari sini terlihat betapa bersemangat dan cintanya Syekh Nawawi terhadap Islam sehingga kesulitan yang ada tidak merintangi niat dia untuk menunaikan ibadah haji. Saat itu 1830, yakni ketika dia berusia 15 tahun. Kedua, Menuntut ilmu. Bagi para santri, kisah mengenai Makkah sudah tidak asing lagi. Dari banyak kyai mereka mendengar perihal kehidupan intelektual Makkah sebagai pusat pendidikan agama. Syekh Nawawi juga merasa bahwa tinggal di Makkah lebih menjanjikan. Bahkan banyak juga muslim Jawa yng memiliki obsesi untuk menetap dn meninggal di makkah maupun Madinah. Pada abad ke-11 M di Jawa, kota makkah telah menjadi kiblat dalam banyak hal terkait dengan agama dan dipandang sebagai mata rantai yang menghubungkan Allh dan makhluk-Nya, sementara kota Madinah dianggap sebagai simbol kota suci dan kota perdamaina benukan nabi. Ketiga, Kondisi tanah air. Syekh Nawawi meninggalkan tanah air dan segala yang dicintainya lantaran mendapatkan tekanan dari Belanda Situasi itu memuncak pada Perang Diponegoro yang berlangsung selama 5 tahun (1825-1830 M).
Syekh Nawawi bukan ulama yang ahli dalam sau bidang ilmu saja, bahkan Abdurrahman Mas’ud menyebut dia sebagai ”Kiai Intelektual Ensklopedi”. Ilmu yang dia ajarkan hampir semua cabang ilmu agama Islam seperti fiqh, tauhid, tata bahasa Arab, dan bahkan tafsir al-Qur’an. Sesudah menuntut ilmu selama 30 tahun dari para ulama dan tinggal di Makkah, Syekh Nawawi tidak saja mampu membaca al-Qur’an secara sempurna, tetapi juga menghapalkannya. Banyak murid belajar tafsir kepadanya, diantaranya adalah K.H Hasyim Asy’ari (pendiri NU dan Pahlawan nasional), K.H Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadyah), dan Kiai Kholil Bangkalan (tokoh kharismatik dari Madura). Mereka kemudian meminta syekh untuk membukukan tafsir al-Qur’an yang dia ajarkan kepada mereka. Kitab tafsirini pada akhirnya terbit dan dikenal sebagai Tafsir Marah Labid atau Tafsir al-Munir atau Tafsir an-Nawawi.
Tidak seperti sufi Indonesia lainnya yang lebih banyak porsinya dalam menyadur teori-teori genostik Ibnu Arabi, Nawawi justru menampilkan tasawuf yang moderat antara hakikat dan syariat. Dalam formulasi pandangan tasawufnya tampak terlihat upaya perpaduan antara fiqh dan tasawuf. Ia lebih Gazalian (mengikuti Al-Ghazali) dalam hal ini. Bagi Nawawi Tasawuf berarti pembinaan etika (Adab). Penguasaan ilmu lahiriah semata tanpa penguasaan ilmu batin akan berakibat terjerumus dalam kefasikan, sebaliknya seseorang berusaha menguasai ilmu batin semata tanpa dibarengi ilmu lahir akan terjerumus ke dalam zindiq. Jadi keduanya tidak dapat dipisahkan dalam upaya pembinaan etika atau moral (Adab).
6) Riwayat Hidup dan Pemikiran Tasawuf Syeikh H. Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA)
Beliau dilahirkan di Sungai Batang Maninjau (Sumatera Barat) pada 17 Februari 1908 (14 Muharram 1326 H). Ayahnya ialah ulama Islam terkenal Dr. Haji Abdul Karim Amrullah alias Haji Rasul pembawa faham-faham Pembaharuan Islam di Minangkabau.
Dalam usia 6 tahun (1914) dia dibawa ayahnya ke Padang Panjang. Sewaktu berusia 7 tahun dimasukkan ke sekolah desa dan malamnya belajar mengaji Qur’an dengan ayahnya sendiri sehingga khatam. Dari tahun 1916 sampai tahun 1923 dia telah belajar agama pada sekolah-sekolah “Diniyah School” dan “Sumatera Thawalib” di Padang Panjang dan di Parabek. Guru-gurunya waktu itu ialah Syekh Ibrahim Musa Parabek, Engku Mudo Abdul Hamid dan Zinudin Labay. Padang Panjang waktu itu ramai dengan penuntut ilmu agama Islam, di bawah pimpinan ayahnya sendiri.
Di tahun 1924 ia berangkat ke Yogya, dan mulai mempelajari pergerakan-pergerakan Islam yang mulai bergelora. Ia dapat kursus pergolakan Islam dari H.O.S Cokroaminoto. H. Fakhruddin, R.M Suryapranoto dan iparnya sendiri A.R.St.Mansur yang pada waktu itu ada di Pekalongan. Hamka juga aktif dalam gerkan Islam melalui organisasi Muhammadiyah. Ia mengikuti pendirian Muhammadiyah mulai tahu 1925 untuk melawan khurafaat, bid’ah, tarekat dan kebatinan yang sesat. Pada tahun ini pula Hamka aktif dalam kegiatan politik dengan menjadi anggota partai politik Sarekat Islam.
Selain aktif dalam soal keagamaan dan politik, ia merupakan seorang wartawan, penulis, editor, dan penerbit.. Sejak tahun 1920-an, ia menjadi wartawan beberapa buah akhbar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam dan Seruan Muhammadiyah.Pada yahun 1928, ia menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makassar.
Setelah ia kembali ke Sumatera Barat tahun 1935, dan tahun 1936 pergilah ia ke Medan mengeluarkan mingguan Islam yang mencapai puncak kemasyhuran sebelum perang, yaitu “Pedoman Masyarakat”. Di zaman itulah banyak terbit karangan-karangannya dalam bidang agama, filsafat, tasawuf, dan roman. Ada yang ditulis di “Pedoman Masyarakat” dan ada pula yang ditulis terlepas. Diantara romannya “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck”, “Di Bawah Lindungan Ka’bah”, Merantau ke Deli”, dan lain-lain. Dalam hal agama dan filsafat ialah “Tasawuf Moderen”, “Falsafah Hidup”, dan lain-lain. Di zaman Jepang dicobanya menerbitkan “Semangat Islam” dan “Sejarah Islam di Sumatera”.
Dengan keahliannya itu, ia pada tahun 1952 diangkat oleh pemerintah menjadi anggota “Badan Pertimbangan Kebudayaan” dari Kementrian PP dan K menjadi Guru Besar pada Perguruan Tinggi Islam dan universitas Islam di Makassar serta menjadi Penasehat pada Kementrian Agama. Drs. Slamet Mulyono, ahli tentang ilmu kesusasteraan Indonesia menyebut Hamka sebagai “Hamzah Fansuri Zaman Baru”. Untuk menghargai jasa-jasanya dalam penyiaran Islam dengan Bahasa Indonesia yang indah itu, maka pada permulaan tahun 1959 Majelis Tinggi University al-Azhar Kairo dan Universitas Kebangsaan Malaysia tahun 1974 memberikan gelar Doctor Honoris Causa kepadanya. Sejak itu berhaklah beliau memakai title ‘Dr’ di pangkal namanya.
Untuk menimbulkan persepsi yang berbeda di kalangan khalayak ramai tentang tasawuf, Hamka kemudian memunculkan istilah tasawuf modern. Hal ini berdasar pada prinsip tauhid, bukan pencarian pengalaman mukasyafah. Jalan tasawufnya dibangun lewat sikap zuhud yang dapat dirasakan melalui peribadatan resmi. Penghayatan tasawufnya berupa pengalaman takwa yang dinamis, bukan keinginan untuk bersatu dengan Tuhan (univate state), dan refleksi tasawufnya berupa penampakan semakin tingginya semagat dan nilai kepekaan social-relligius (social keagamaan), bukan karena ingin mendapatkan karamah (kekeramatan) yang bersifat magis, metafisis, dan yang sebagainya. Konsep-konsep tasawuf yang diterangkan Hamka sangat dinamis. Ia memahami tasawuf dengan pemahaman yang lebih tepat dengan roh dan semangat ajaran Islam. Hamka tidak memahami tasawuf sebagaimana gerakan tarekat dan sufistik pada umumnya. Tasawuf model Hamka ini menandingi tasawuf tradisional yang cenderung membawa bibit-bibit ke-bid’ah-an, khurafat, dan kesyirikan. Sementara Hamka adalah ulama modernis (Mujaddid) yang begitu anti dengan hal-hal tersebut. Dengan demikian, dapat dikatakan, corak tasawuf Hamka adalah tasawuf pemurnian.
Tahun 1962 Hamka mulai menafsirkan al-Qur’an, yakni “Tafsir al-Azhar” 30 juz (5 jilid). Tafsir ini sebagian besar dapat terselesaikan selama di dalam tahanan. (Hari senin tanggal 12 Ramadhan 1385, bertepatan dengan 27 Januari 1964 sampai Juli 1969). Bulan Juli 1975, Musyawarah Alim Ulama Seluruh Indonesia dilangsungkan. Hamka dilantik sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia pada tanggal 26 Juli 1975 bertepatan dengan 17 Rajab 1395 M.
Hamka telah berpulang ke Rahmatullah pada 24 Juli 1981, namun jasa dan pengaruhnya masih terasa sehingga kini dalam memartabatkan agama Islam.
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Sebagaimana halnya diketahui, bahwa Islam datang pertama kali ke wilayah Aceh, maka Aceh sekaligus berperanan penting bagi penyebaran tasawuf ke seluruh wilayah Nusantara. Tasawuf yang singgah pertama kali di Aceh, memiliki corak falsafi yang ber-term wahdatul wujud ini begitu kuat dianut oleh sebagian masyarakat Aceh, dengan tokoh utamanya adalah Hamzah Fansuri dan salah satu fatwanya yaitu وَنَحْنُ أَقْرَبُ اِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيْد Dan Kami lebih dekat kepadanya (manusia) daripada urat lehernya.
2. Kehadiran tasawuf yang bercorak falsafi itu kemudian disusul oleh tasawuf yang bercorak Sunni. Kedatangan tasawuf Sunni ini menjadi semacam koreksi terhadap pemahaman wahdatul wujud sehingga kebijakan Nuruddin mengeluarkan fatwa ”kufur” kepada pengikut Wujudiyah.
3. Al-Sinkli menanggapi persoalan aliran Wujudiyah dengan penuh kebijaksanaan. Kendati demikian, ajaran tasawufnya mirip dengan Nuruddin al-Raniri, yaitu menganut paham satu-satunya wujud hakiki, yakni Allah. Al-Sinkli juga mempunyai pemikiran tentang dzikir.
4. Syeikh Yusuf al-Makassari menganut paham wujudiyah dan berbicara pula tentang Insan Kamil dan proses pensucian jiwa. Ia mengatakan bahwa seorang hamba akan tetap hamba walaupun telah naik derajatnya, dan Tuhan akan tetap Tuhan walaupun turun pada diri hamba. Dalam proses pensucian jiwa, ia menempuh cara yang moderat.
5. Tidak seperti sufi Indonesia lainnya yang lebih banyak porsinya dalam menyadur teori-teori genostik Ibnu Arabi, Nawawi justru menampilkan tasawuf yang moderat antara hakikat dan syariat. Dalam formulasi pandangan tasawufnya tampak terlihat upaya perpaduan antara fiqh dan tasawuf. Ia lebih Gazalian (mengikuti Al-Ghazali) dalam hal ini. Bagi Nawawi Tasawuf berarti pembinaan etika (Adab).
6. Hamka tidak memahami tasawuf sebagaimana gerakan tarekat dan sufistik pada umumnya. Tasawuf model Hamka ini menandingi tasawuf tradisional yang cenderung membawa bibit-bibit ke-bid’ah-an, khurafat, dan kesyirikan. Sementara Hamka adalah ulama modernis (Mujaddid) yang begitu anti dengan hal-hal tersebut. Dengan demikian, dapat dikatakan, corak tasawuf Hamka adalah tasawuf pemurnian
DAFTAR PUSTAKA
Hamka, Prof. Dr, Tasawuf Moderen, Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 1990
Khalil, Ahmad. Sufi dalam Etika dan Tradisi Jawa, Malang: UIN Malang Press, 2008
Rifa’i, Bachrun, dkk. Filsafat Tasawuf, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2010
Solihin, Muhammad. Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005
Subchi, Imam. Sejarah Kebudayaan Islam kelas XII, Jakarta: PT. Listafariska Putra, 2006
Toriqqudin, Muhammad. Sekularitas Tasawuf: Membumikan Tasawuf dalam Dunia Modern, Malang: UIN Malang Press, 2008
1)MAULIDA FATIMATUZZAHROH (210208010) 6509
Imam Taufik Al Khotob kamis juni 11 2009http://www.jurnalstidnatsir.co.cc/2009/06/hamka-dan-pemikiran-tasawufnya.html
http://sabrial.wordpress.com/syaikh-nawawi-al-bantani-4/ Mamat Salamet Burhanuddin 28 10 10